My Language Story
1. May 2020
Dear Café Lovers,
Selamat siang Language Enthusiasts,
Sebelumnya, saya mau berterima kasih bahwa kamu telah menemukan jalan ke Café Bahasa yang juga membuktikan adanya ketertarikanmu untuk menyelam ke dunia bahasa juga. Benarkah? 🙂
Perkenalkan, nama saya Dennis, tetapi kebanyakan teman Indonesia panggil saya Mas Dennis. Dengan Language Story pribadi ini, saya mau menyampaikan hasrat dan kesenangan saya akan bahasa-bahasa asing kepada kalian.
Sebelumnya, saya ingin menceritakan latar belakang saya dulu!
Ayo mari kita mulai!
Bertumbuh dalam dua budayaan berbeda
Kita kembali ke tahun 1992 ketika saya lahir dalam keluarga multikultural di kota Hamburg, sebagai putra tunggal dari pasangan orang tua Jerman-Filipina. Berbeda dengan kebanyakan anak blasteran seumuran saya yang lain, saya hanya tumbuh besar dengan satu bahasa ibu saja, yaitu Bahasa Jerman. Bahasa ibu itu sebetulnya adalah bahasa ayah saya yang kami gunakan di rumah. Tumbuh besar di antara dua kebudayaan yang berbeda, Eropa dan Asia Tenggara, tidak hanya disertai dengan banyak keuntungan yang asyik, melainkan juga dengan berbagai macam ketidakpastian.
Di satu sisi, saya dididik tentang nilai-nilai dan kebiasaan Jerman oleh orang tua dan di sekolah. Jadi, melalui pengaruh itu, saya menghabiskan masa kecil saya seperti halnya kebanyakan anak-anak Jerman lain di sini. Misalnya, saya belajar tentang pentingnya kesopanan dan ketepatan waktu, hal itu sudah ditanam sejak kecil pada saat saya diajak oleh Oma und Opa (=kakek nenek) untuk „Kaffee und Kuchen“ (=kopi dan kue).
Tetapi di sisi lain, saya juga sering berkumpul dengan keluarga Filipina yang pindah dari Filipina ke kota Hamburg pada tahun 1980-an. Meskipun saya bertemu dengan auntie, uncle dan pinsan (=sepupu), saya terkadang merasa salah dipahami oleh mereka karena saya tidak berbicara lancar dalam Bahasa Filipina ataupun ikut melucu bersama mereka. Dari pengalaman saya, pesta khas Filipina itu lebih gembira dan hangat yang digambarkan dengan malam karaoke, lalu mereka akan bertanya berulang kali apakah saya mau makan lagi: „Gusto mo kumain?“ (=Kamu mau makan?).
Kedua negara yang sebenarnya berbeda, kan? Nah, saya berpikir penggalan kisah masa kecil saya tadi merupakan contoh baik untuk menunjukkan, bahwa, dibesarkan oleh dua kebudayaan yang berbeda terkadang bisa menjadi kendala. Walaupun pola pikir dan bahasa saya lebih dipengaruhi oleh Jerman, penampilan saya mengingatkan akan adanya sisi diri saya yang lain yang belum bisa diekspresikan selama ini.
Setelah teman-teman mengenal latar belakang saya, saya ingin bercerita kepada kalian tentang hubungan saya terhadap bahasa.
1. Bahasa Inggris
Ketika saya berusia 9 tahun, saya mulai belajar Bahasa Inggris di SD sebagai bahasa asing pertama. Sejak awalnya, saya bersenang-senang dalam kelas Bahasa Inggris, khususnya karena SD memilih pendekatakan pengajaran yang menyenangkan, seperti bermain peran dan nonton film kartun. Tidak lama setelahnya, saya langsung bisa menguji kemampuan bahasa Inggris saya, karena dulu orang tua saya berlibur ke Filipina secara berkala.
Dengan bantuan Bahasa Inggris, akhirnya saya menemukan cara yang sesuai untuk berkomunikasi dengan keluarga di Filipina di mana Bahasa Inggris diakui sebagai bahasa resmi kedua. Pada waktu itu, saya menganggap ayah sebagai sosok yang menginspirasi karena Beliau menguasai Bahasa Inggris dengan lancar. Sementara itu, Beliau juga paham bagaimana membuat lawan bicaranya tertawa lewat humor.
Pelajaran yang saya dapat dari kenangan ini adalah bahwa motivasi yang tepat, seorang panutan seiring dengan sedikit humor dapat mendorong kamu untuk terus belajar bahasa.
2. Bahasa Spanyol
Menginjak usia 12 tahun saat memasuki SMP, cerita belajar bahasa terus berlanjut: Bahasa Spanyol menjadi bahasa asing kedua yang saya pelajari. Dalam waktu yang sama, tanpa sengaja saya menemukan sisi yang lain dari saya sendiri: Saya menjadi pemerhati bahasa yang kagum akan komposisi dari pengucapan, melodi dan kecepatan. Tiga elemen yang mencolok dalam Bahasa Spanyol. Maka dari itu, saya berusaha untuk meniru logat penutur asli Bahasa Spanyol. Ungkapan sehari-hari menjadi tantangan nyata, misalnya kalimat ini:
¡Oye amigos, vamos a la playa mañana!
Pengucapan aslinya seperti berikut: ¡Oje amigos, bamos a la playa maniana!
(=Hey teman-teman, ayo kita ke pantai besok!)
Paling baik, kalian coba ucapkan kalimat ini sendiri satu kali lagi! 😉
Kesenangan saya atas Bahasa Spanyol juga berlanjut selama masa SMA. Ketika fokus kami di tahun-tahun sebelumnya adalah negara dan kebudayaan Spanyol, kurikulum sekarang menyediakan kelas tentang musik, sastra dan sejarah Amerika Latin, khususnya tentang Kuba. Hebat, kan? Sementara itu, kemampuan Bahasa Spanyol saya sudah bastante bien (=lumayan baik) makanya saya mampu untuk memandang negara yang jauh, seperti Kuba, dari sudut yang dekat.Pada saat itu, saya belum tahu bahwa Bahasa Spanyol akan memainkan peran yang bahkan lebih penting di masa depan saya. Tetapi, cerita ini layak untuk dibagikan di artikel lain.
3. Bahasa Vietnam
Kemudian, pada tahun 2013, saya memutuskan untuk kuliah S1 di Jurusan Bahasa dan Budaya Asia Tenggara bersamaan dengan minor Bahasa Spanyol di Universitas Hamburg. Karena studi saya tidak mencakup kelas Bahasa Filipina, saya disuruh untuk memilih salah satu bahasa lain, di antaranya Bahasa Indonesia, Bahasa Thailand dan Bahasa Vietnam. Sepertinya kebanyakan dari teman-teman Indonesia sedang menduga pilihan saya, tetapi kadang-kadang nasib berkata lain. Bahasa Vietnam merupakan bahasa asing ketiga yang mengajarkan saya pelajaran yang penting untuk perjalanan saya selanjutnya sebagai mahasiwa bahasa.
Hal yang membuat Bahasa Vietnam rumit untuk penutur asli Eropa adalah fakta bahwa bahasa itu adalah tonal language yang terdiri dari enam tone berbeda. Lebih spesifik, arti kata itu tergantung pada bagaimana penutur melafalkannya. Pengalaman sebelumnya sebagai pemerhati bahasa, tidak bisa membantu saya dengan tantangan yang baru itu. Selama dua tahun itu, saya menyadari tiga komponen pembelajaran yang efektif dengan Bahasa Vietnam, yaitu konsisten, ulangan dan percakapan dengan para penutur asli. Sebuah language tandem tidak hanya membantu untuk dapat feedback langsung dari penutur asli, tetapi juga membantu kamu mendapatkan teman baru.
Sehubungan dengan hal itu, satu manfaat lain adalah penemuan kuliner seperti masakan Phở bò (=mie kuah dengan daging sapi) dan Bún chả (=mie tepung dengan daging babi yang diasinkan) yang membuat saya menjadi penggemar dapur Vietnam hari ini.
4. Bahasa Indonesia
Terkait dengan kisah bahasa saya, tahun 2015 adalah tahun yang istimewa. Karena dari tahun itulah, saya terus-menerus belajar tentang bahasa dan keragaman budaya Indonesia. Sejak saat itu hingga sekarang, banyak peristiwa terjadi yang membuat saya dapat memperdalam ketertarikan atas negara hebat ini serta orang-orangnya yang ramah. Antara lain, minat saya yang berkembang akan Indonesia membawa saya ke Surabaya pada tahun 2017 untuk melalukan semester abroad. Sekarang, saya mau berhenti untuk melanjutkan ceritanya pada titik ini.
Alasannya adalah kelanjutan itu layak untuk digambarkan dengan artikel yang lain. Pada akhirnya, saya hanya mau mengatakan bahwa pengalaman saya terhubung dengan Indonesia membentuk sifat saya hari ini. Saya bersyukur untuk itu dan selain itu, saya percaya… saya juga menemukan satu tanah air yang baru di Indonesia.
Sekian dari saya,
Saya berharap bahwa kamu senang setelah membaca sedikit tentang kisah hidup saya. Mungkin ada salah satu pendekatan atau metode tertentu yang juga sesuai untuk pelajaran bahasa kamu.
Semoga cita-cita dan rasa semangat untuk ciptaan Language Story pribadi kalian terwujud!
Salam,
Dennis